"De'... de'... Selamat Ulang Tahun..." bisik seraut wajah tampan tepat di hadapanku. "Hmm..." aku yang sedang lelap hanya memicingkan mata dan tidur kembali setelah menunggu sekian detik tak ada kata-kata lain yang terlontar dari bibir suamiku dan tak ada sodoran kado di hadapanku.

Shubuh ini usiaku dua puluh empat tahun. Ulang tahun pertama sejak pernikahan kami lima bulan yang lalu. Nothing special. Sejak bangun aku cuma diam, kecewa. Tak ada kado, tak ada black forest mini, tak ada setangkai mawar seperti mimpiku semalam. Malas aku beranjak ke kamar mandi. Shalat Subuh kami berdua seperti biasa. Setelah itu kuraih lengan suamiku, dan selalu ia mengecup kening, pipi, terakhir bibirku. Setelah itu diam. Tiba-tiba hari ini aku merasa bukan apa-apa, padahal ini hari istimewaku. Orang yang aku harapkan akan memperlakukanku seperti putrid hari ini cuma memandangku.

Alat shalat kubereskan dan aku kembali berbaring di kasur tanpa dipanku. Memejamkan mata, menghibur diri, dan mengucapkan. Happy Birthday to Me... Happy Birthday to Me.... Bisik hatiku perih. Tiba-tiba aku terisak. Entah mengapa. Aku sedih di hari ulang tahunku. Kini aku sudah menikah. Terbayang bahwa diriku pantas mendapatkan lebih dari ini. Aku berhak punya suami yang mapan, yang bisa mengantarku ke mana-mana dengan kendaraan. Bisa membelikan blackforest, bisa membelikan aku gamis saat aku hamil begini, bisa mengajakku menginap di sebuah resort di malam dan hari ulang tahunku. Bukannya aku yang harus sering keluar uang untuk segala kebutuhan sehari-hari, karena memang penghasilanku lebih besar. Sampai kapan aku mesti bersabar, sementara itu bukanlah kewajibanku.

"De... Ade kenapa?" tanya suamiku dengan nada bingung dan khawatir.

Aku menggeleng dengan mata terpejam. Lalu membuka mata. Matanya tepat menancap di mataku.. Di tangannya tergenggam sebuah bungkusan warna merah jambu. Ada tatapan rasa bersalah dan malu di matanya. Sementara bungkusan itu enggan disodorkannya kepadaku.

"Selamat ulang tahun ya De'..." bisiknya lirih. "Sebenernya aku mau bangunin kamu semalam, dan ngasih kado ini... tapi kamu capek banget ya? Ucapnya takut-takut. Aku mencoba tersenyum. Dia menyodorkan bungkusan manis merah jambu itu. Dari mana dia belajar membukus kado seperti ini? Batinku sedikit terhibur.. Aku buka perlahan bungkusnya sambil menatap lekat matanya. Ada air yang menggenang.

"Maaf ya de, aku cuma bisa ngasih ini. Nnnng... Nggak bagus ya de?" ucapnya terbata. Matanya dihujamkan ke lantai.

Kubuka secarik kartu kecil putih manis dengan bunga pink dan ungu warna favoritku. Sebuah tas selempang abu-abu bergambar Mickey mengajakku tersenyum. Segala kesahku akan sedikitnya nafkah yang diberikannya menguap entah ke mana. Tiba-tiba aku malu, betapa tak bersyukurnya aku.

"Jelek ya de'? Maaf ya de'... aku nggak bisa ngasih apa-apa.... Aku belum bisa nafkahin kamu sepenuhnya. Maafin aku ya de'..." desahnya.

Aku tahu dia harus rela mengirit jatah makan siangnya untuk tas ini. Kupeluk dia dan tangisku meledak di pelukannya. Aku rasakan tetesan air matanya juga membasahi pundakku. Kuhadapkan wajahnya di hadapanku. Masih dalam tunduk, air matanya mengalir. Rabbi... mengapa sepicik itu pikiranku? Yang menilai sesuatu dari materi? Sementara besarnya karuniamu masih aku pertanyakan.

"A' lihat aku...," pintaku padanya. Ia menatapku lekat. Aku melihat telaga bening di matanya. Sejuk dan menenteramkan. Aku tahu ia begitu menyayangi aku, tapi keterbatasan dirinya menyeret dayanya untuk membahagiakan aku. Tercekat aku menatap pancaran kasih dan ketulusan itu. "Tahu nggak... kamu ngasih aku banyaaaak banget," bisikku di antara isakan. "Kamu ngasih aku seorang suami yang sayang sama istrinya, yang perhatian. Kamu ngasih aku kesempatan untuk meraih surga-Nya.. Kamu ngasih aku dede'," senyumku sambil mengelus perutku. "Kamu ngasih aku sebuah keluarga yang sayang sama aku, kamu ngasih aku mama...." bisikku dalam cekat.

Terbayang wajah mama mertuaku yang perhatiannya setengah mati padaku, melebihi keluargaku sendiri. "Kamu yang selalu nelfon aku setiap jam istirahat, yang lain mana ada suaminya yang selalu telepon setiap siang," isakku diselingi tawa. Ia tertawa kemudian tangisnya semakin kencang di pelukanku.

Rabbana... mungkin Engkau belum memberikan kami karunia yang nampak dilihat mata, tapi rasa ini, dan rasa-rasa yang pernah aku alami bersama suamiku tak dapat aku samakan dengan mimpi-mimpiku akan sebuah rumah pribadi, kendaraan pribadi, jabatan suami yang oke, fasilitas-fasilitas. Harta yang hanya terasa dalam hitungan waktu dunia. Mengapa aku masih bertanya. Mengapa keberadaan dia di sisiku masih aku nafikan nilainya. Akan aku nilai apa ketulusannya atas apa saja yang ia berikan untukku? Hanya dengan keluhan? Teringat lagi puisi pemberiannya saat kami baru menikah... Aku ingin mencintaimu dengan sederhana... .


Suatu malam ada seorang wanita yang sedang menunggu di Bandara, masih ada 1 jam sebelum jadwal penerbangan tiba, untuk itu ia membeli buku dan sekantong kue di toko dekat Bandara, kemudian ia mencari tempat duduk untuk sekedar membaca buku yang dibelinya. Dalam keasyikannya ia melihat lelaki disebelahnya dengan begitu berani mengambil satu atau dua dari kue yang berada diantara mereka.

Wanita itu mencoba mengabaikan kejadian tersebut agar tidak terjadi keributan, ia membaca, mengunyah kue dan melihat jam.Namun si pencuri kue yang berani menghabiskan persediaanya, ia semakin kesal. Sementara menit-menit berlalu wanita itupun sempat berfikir “kalau aku bukan orang baik sudah ku tonjok dia!!”

Setiap ia mengambil satu kue, si lelaki juga mengambil satu. Ketika hanya tersisa satu kue ia bertanya-tanya apa yang akan di lakukan lelaki itu? Dengan senyum di wajahnya dan tawa gugup, si lelaki mengambil kue terakhir dan membaginya dua, si lelaki menawarkan separoh miliknya sementara ia makan yang separohnya lagi. Si wanita pun merebut kue itu dan berfikir: “Ya ampun,orang ini berani sekali dan ia juga kasar malah ia tidak kelihatan berterima kasih”, selum pernah rasanya ia begitu kesal. Ia menghela nafas lega saat penerbanganya diumumkan. Kemudian Ia mengumpulkan barang miliknya dan menuju pintu gerbang dan menolak untuk menoleh pada “si pencuri tak tahu berterima kasih”. Ia naik pesawat dan duduk dikursinya, lalu mencari bukunya yang hampir selesai dibaca, saat ia merogoh tasnya, ia menahan nafas dengan kaget,,,disisinya ada kantong kue, didepan matanya!!

Kok kantong kueku ada disini??erangnya patah hati…

jadi kue tadi???milik lelaki itu dan ia mencoba berbagi..

Terlambat…untuk minta maaf, ia tersadar bahwa sesungguhnya ia yang kasar, tak tahu berterima kasih dan ialah pencuri kue itu…


eramuslim - “Hati tempat jatuhnya pandangan Allah, jasad lahir tumpuan manusia. Utamakanlah pandangan Allah daripada pandangan manusia”

Malam ini, saya kembali membaca tulisan itu. Terselip diantara lembar-lembar biru sebuah buku harian. Haru. Perasaan itu selalu menerpa, ketika teringat kembali proses kehijrahan saya. Tak banyak sebenarnya yang bisa saya ceritakan tentang proses itu. Tapi dari semua proses hijrah itu tak lepas dari peran seorang hamba Allah yang sampai detik ini namanya masih tersimpan rapi dalam sanubari saya. Sang pemilik buku harian biru ini.

Saya dan teman-teman lebih suka memanggilnya Anggi. Nama lengkapnya Anggraheni Puspitasari. Anggi teman satu kost saya dan juga satu jurusan di Teknik Informatika sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Saya mengenalnya sejak hari pertama OSPEK. Gadis sedikit tomboy, supel, ceria dan energik ini gampang disukai siapa saja yang mengenalnya. Juga dikost kami yang hanya berpenghuni empat orang. Saya, Anggi, Tri, dan Mira. Sehari saja tanpa Anggi kost terasa sepi. Anggi memang paling pandai menghidupkan suasana. Joke-joke segarnya sering membuat kami terlepas dari beban kuliah yang berat. Juga beban kekurangan duit diakhir bulan. Karena Anggi yang notabene putri seorang ibu dokter dan ayah anggota DPR ini tentu saja tak pernah kekurangan dana. Namun bukan karena itu kalau lantas kami sangat menyayangi sekaligus mengagumi Anggi. Tapi lebih karena sikap dan kepribadian Anggi terhadap teman-temannya. Dia tak pernah membanggakan keluarga besarnya dihadapan kami meski kami berada dibawah garis kemiskinan sebagai anak kost. Ketulusan dan kepeduliannya pada yang hidup kekurangan seringkali membuat kami tersentuh.

Diantara balutan baju-baju kasualnya, Anggi adalah sosok yang rajin shalat, mengaji dan mengerjakan ibadah-ibadah sunnah lainnya. Sehingga kami terkejut bukan main ketika mengetahui dalam keluarganya, Anggilah satu-satunya yang beragama Islam. Anggota keluarga lainnya Kristen Katolik. Yang sedikit saya tahu, keluarga Anggi membebaskan masing-masing anggota keluarganya untuk memilih agama sesuai keyakinan masing-masing. Namun satu hal yang mereka tekankan, kalau memilih Islam tak boleh mengenakan jilbab.

Jilbab. Kami semua tahu Anggi sangat ingin mengenakan pakaian takwa itu. Hampir setiap hari Anggi mengutarakan keinginannya pada kami. Namun kalau sampai dia mengenakan jilbab, keluarga akan membuangnya. Keinginan itu tertuang dalam lembar-lembar diary birunya. Diary yang saya simpan dalam lemari pakaian saya hingga sekarang dan saya baca disaat saya merindukan Anggi. Doa dan pintanya pada Allah agar diberi kesempatan untuk mengenakan busana takwa tercurah dalam lembar-lembar diary itu. Seolah tak kenal lelah Anggi memohon pada Allah agar dikaruniai sebuah kesempatan untuk ber-Islam secara kaffah.

Hingga suatu pagi, saya mendapat berita yang menyesakkan. Bis yang membawa Anggi ke Surabaya kemarin sore mengalami kecelakaan. Semua hancur terbakar. Dan Anggi merupakan salah satu korban. Innalilahi wa inna lillahi roji’un. Anggi menghadap Allah demikian cepat. Sebelum keinginannya berjilbab terwujud. Sebelum mimpi-mimpinya untuk ber-Islam secara kaffah menjadi kenyataan. Tentu saja, kami sangat kehilangan. Anggi adalah salah satu sahabat terbaik yang pernah kami miliki. Suasana kost menjadi muram. Kami benar-benar bersedih. Dan disaat seperti inilah diary Anggi menjadi pengobat kesedihan kami. Diary yang sebelum keberangkatannya ke Surabaya dititipkan pada saya.

Sejak kejadian itu, diantara sedih dan kehilangan yang mendera, saya, Tri dan Mira mulai sering merenung. Mati adalah sebuah kepastian. Akan menjemput kita kapan saja dan dimana saja. Bagaimana kalau tiba-tiba kita mati dalam keadaan seperti ini? Tanpa bekal sedikitpun untuk menghadap-Nya? Atau mati dalam keinginan yang belum teraih seperti Anggi? Kami terus merenung dan merenung. Bersama dengan perenungan panjang itu kami juga semakin rajin menghadiri setiap pengajian di Masjid Syuhada’. Kepergian Anggi seolah meninggalkan jalan terang yang kemudian kami susuri bersama.

Dampak kepergian Anggi bagi diri saya sendiripun teramat besar. Saya kembali memiliki semangat baru. Ketika Bapak menolak jilbab saya sekian waktu yang lalu, saya telah apatis. Bahkan saya tak punya harapan lagi untuk bisa meluruhkan hati Bapak. Namun kepergian Anggi seolah menjadi motivasi untuk kembali berjuang dan istiqomah di jalan-Nya. Bahwa Allah akan berada diantara orang-orang yang istiqomah di jalan-Nya.

23 Mei 1998, kami bertiga memutuskan untuk berjilbab. Dan berawalah hari-hari indah sekaligus penuh perjuangan itu. Saya sempat di sidang oleh Bapak karena Bapak sangat tidak berkenan saya memakai busana takwa itu. Tri sempat dihentikan kiriman perbulannya sampai akhirnya dia kerja di restoran. Hanya Miralah, satu-satunya yang hijrahnya mulus tanpa halangan.

Waktu bergulir tanpa terasa. Semakin hari kami semakin mantab berhijrah dan cahaya hidayah itu terasa semakin terang. Langkah-langkah kaki kami seolah dituntun oleh Allah untuk bertemu dengan saudara-saudara seiman yang kemudian membimbing kami. Subhanallah. Bapak yang semula menentang saya habis-habisanpun mulai menerima kehijrahan saya dengan tangan terbuka. Bahkan sedikit demi sedikit Bapak tertarik untuk belajar tentang Islam. Tri juga tidak dikucilkan lagi dalam keluarganya. Bahkan seorang kakak perempuannya ikut berjilbab. Alhamdulillah.

Kini empat tahun berlalu sudah. Saya sudah berpisah dengan kedua sahabat saya. Namun kenangan itu masih tersimpan rapi. Dan tak akan pernah saya biarkan lenyap begitu saja. Juga kenangan tentang Anggi. Allah telah menghadirkan Anggi dalam kehidupan kami. Membuka jalan cahaya yang akhirnya kami susuri bersama menuju teduh dan indahnya Islam.

“Seorang sahabat adalah seseorang yang manakala kita tegak, ia tegak disamping kita, dan manakala kita lemah serta nyaris terjatuh, maka ia yang akan mengingatkan dan menopang kita”.

Mata saya berkaca saat membaca potongan kertas yang terselip dalam lembar terakhir diary biru itu. Mahabesar Allah yang telah mengaruniai sahabat sebaik engkau, Anggi. Semoga damai disisi Sang Maha Kasih.


eramuslim - Woman was made from the rib of man, She was not created from his head to top him, Not from his feet to be stepped upon, She was made from his side to be close to him, From beneath his arm to be protected by him, Near his heart to be loved by him.Bagaimana perasaan seorang pria jika dikelilingi banyak wanita? Jika pertanyaan itu disodorkan kepada saya, maka ungkapan “bangga” nampaknya cukup mewakili perasaan saya. Saya senang setiap hari dikelilingi wanita cantik, shalihah pula. Dan tentu pada saat itu saya semakin merasa menjadi ‘pangeran’. Ups, jangan curiga dulu, karena wanita-wanita cantik nan shalihah yang saya maksud adalah istri dan dua anak saya yang keduanya ‘kebetulan’ wanita. Insya Allah.

Tidak hanya itu, sebelum saya menikah, saya juga lebih banyak disentuh oleh wanita, yakni ibu karena semenjak usia enam tahun saya memilih untuk ikut ibu saat ia bercerai dengan ayah. Sebuah naluri kedekatan anak terhadap ibunya yang tidak sekedar karena telah menghisap ratusan liter air susu ibunya, melainkan juga ikatan bathin yang tak bisa terpisahkan dari kehangatan yang senantiasa diberikan seorang ibu terhadap anaknya.

Karena itulah, dalam hidup saya tidak ingin berbuat sesuatu yang sekiranya dapat mengecewakan dan melukai seorang wanita. Namun sikap yang tepat dan bijak harus diberikan seorang pria mengingat wanita itu terbuat dari tulang rusuk yang bengkok, yang apabila terdapat kesalahan padanya, pria harus berhati-hati meluruskannya. Terlalu keras akan mematahkannya, dibiarkan juga salah karena akan tetap pada kebengkokannya. Meski demikian, tidak sedikit pria harus membiarkan wanita kecewa demi meluruskan kesalahan itu, toh setiap pria yang melakukan itu pun sangat yakin bahwa kekecewaan itu hanya sesaat kerena selanjutnya akan berbuah manis.

Wanita itu ibarat bunga, yang jika kasar dalam memperlakukannya akan merusak keindahannya, menodai kesempurnaannya sehingga menjadikannya layu tak berseri. Ia ibarat selembar sutra yang mudah robek oleh terpaan badai, terombang-ambing oleh hempasan angin dan basah kuyup meski oleh setitik air. Oleh karenanya, jangan biarkan hatinya robek terluka karena ucapan yang menyakitkan karena hatinya begitu lembut, jangan pula membiarkannya sendirian menantang hidup karena sesungguhnya ia hadir dari kesendirian dengan menawarkan setangkup ketenangan dan ketentraman. Sebaiknya tidak sekali-kali membuatnya menangis oleh sikap yang mengecewakan, karena biasanya tangis itu tetap membekas di hati meski airnya tak lagi membasahi kelopak matanya.

Wanita itu mutiara. Orang perlu menyelam jauh ke dasarnya untuk mendapatkan kecantikan sesungguhnya. Karenanya, melihat dengan tanpa membuka tabir hatinya niscaya hanya semu sesaat yang seringkali mampu mengelabui mata. Orang perlu berjuang menyusur ombak, menahan arus dan menantang semua bahayanya untuk bisa meraihnya. Dan tentu untuk itu, orang harus memiliki bekal yang cukup sehingga layak dan pantas mendapatkan mutiara indah itu.

Wanita itu separuh dari jiwa yang hilang. Maka orang harus mencarinya dengan seksama, memilihnya dengan teliti, melihat dengan hati-hati sebelum menjadikannya pasangan jiwa. Karena jika salah, ia tidak akan menjadi sepasang jiwa yang bisa menghasilkan bunga-bunga cinta, melainkan noktah merah menyemai pertikaian. Ia tak akan bisa menyamakan langkah, selalu bertolak pandang sehingga tak memberikan kenyamanan dan keserasian. Ia tak mungkin menjadi satu hati meski seluruh daya dikerahkan untuk melakukannya. Dan yang jelas ia tak bisa menjadi cermin diri disaat lengah atau larut.

Wanita memiliki kekuatan luar biasa yang tak pernah dipunyai lawan jenisnya dengan lebih baik. Yakni kekuatan cinta, empati dan kesetiaan. Dengan cintanya ia menguatkan langkah orang-orang yang bersamanya, empatinya membangkitkan mereka yang jatuh dan kesetiaannya tak lekang oleh waktu, tak lebur oleh perubahan.

Dan wanita adalah sumber kehidupan. Yang mempertaruhkan hidupnya untuk sebuah kehidupan baru, yang dari dadanya dialirkan air susu yang menghidupkan. Sehingga semua pengorbanannya itu layak menempatkannya pada kemuliaan surga, juga keagungan penghormatan. Tidak berlebihan pula jika Rasulullah menjadi seorang wanita (Fathimah) sebagai orang pertama yang kelak mendampinginya di surga.

Untung saya bukan penyanyi ngetop yang menjadikan wanita dan cintanya sebatas syair lagu demi meraup keuntungan. Sehingga yang tampak dimata hanyalah wanita sebatas bunga-bunga penghias yang bisa dicampakkan ketika tak lagi menyenangkan. Kebetulan saya juga bukan bintang sinetron yang kerap diagung-agungkan wanita. Karena kalau saya jadi mereka, tentu ‘kebanggaan’ saya dikelilingi wanita cantik bisa berbeda makna dengan kebanggaan saya sebagai seorang yang bukan siapa-siapa.

Bagusnya juga wanita-wanita yang mendekati dan mengelilingi saya bukanlah mereka yang rela diperlakukan tidak seperti bunga, bukan selayaknya mutiara dan tak selembut sutra. Bukan wanita yang mencampakkan dirinya sendiri dalam kubangan kehinaan berselimut kemewahan dan tuntutan zaman. Tidak seperti wanita yang rela diinjak-injak kehormatannya, tak menghiraukan jerit hatinya sendiri, atau bahkan pertentangan bathinnya. Juga bukan wanita yang membunuh nuraninya sendiri sehingga tak menjadikan mereka wanita yang pantas mendapatkan penghormatan, bahkan oleh buah hatinya sendiri.

Dan sudah pasti, selain tak ada wanita-wanita macam itu yang akan mendekati lelaki bukan siapa-siapa seperti saya ini, saya pun tentu tidak akan betah berlama-lama berdekatan dengan mereka, apalagi bangga. Semoga … (cintaberdua@hotmail.com)

Cepat sekali waktu berlalu. Mengalir tak pernah berhenti. Jam demi jam, menit demi menit, detik demi detik, bergerak. Waktu tak dapat ditunda, tak dapat ditahan dan tak mungkin ada yang mampu mengulang. Itu artinya, usia kita pun berkurang. Kita semakin dekat ke liang lahat.

Sahabatku, entah, apakah pertambahan dan perguliran waktu itu, berarti mendekatkan diri kita pada kenikmatan surga. Atau mendekatkan kita pada kesengseraan neraka. Nauzubillah….

Rasul saw. Menyifatkan cepatnya perjalanan waktu kehidupan seperti perjalanan seorang musafir yang hanya sejenak berhenti di bawah pohon di tengah perjalanan yang amat panjang. Para ulama juga banyak menguraikan ilustrasi tentang hidup yang amat singkat ini. “Umurmu akan mencair seperti mencairnya es, ” kata Imam Ibnul Jauzi. (Luthfu fil Wa’z, 31)

Sahabatku, Semoga Allah memberkahi sisa usia kita. Permasalahan terbesar setiap orang adalah ketika kecepatan umur dan waktu hidupnya tidak seiring dengan kecepatannya untuk menyelamatkan diri dari penderitaan abadi di akhirat.

Ketika, usia yang sangat terbatas itu tidak berfungsi sebagai pelindung diri dari beratnya adzab dan siksa Allah swt. Di saat, banyaknya hembusan dan tarikan nafasnya tak sebanding dengan upaya dan jihadnya untuk terhindar dari lubang kemurkaan Allah. Ketika, jumlah detak jantung dan aliran darah yang di pompa di dalam tubuhnya, tak sebanyak gerak dan tingkahnya untuk menjauhi berbagai kemaksiatan yang dapat memunculkan kesengsaraan akhirat.

Sahabatku, Sesungguhnya jiwa kita adalah milik Allah dan kepada-Nya lah jiwa ini akan kembali….

Suasana hati seperti inilah yang perlu kita tumbuhkan. Adakajh di antara kita yang tidak mempunyai dosa? Atau merasa mampu menebus kotoran dan dosa yang telah dilakukan selama puluhan tahun usia yang telah lewat? Tentu tidak. Perasaan kurang, merasa banyak melakukan kemaksiatan, lalu menimbulkan penyesalan adalah bagian dari pintu-pintu rahmat Allah yang akan mengantarkan kita pada taubat. Suasana hati seperti inilah yang akan mendorong pemilikinya bertekad mengisi hari dengan amal yang lebih untuk menebus kesalahan yang lalu.

Sahabatku, mari menangguk pahala, meraih rahmatdan ampunan Allah sebanyak-banyaknya sekarang juga. Perbanyaklah dzikir bersedekah, berjihad dan beramal shalih. Tak ada kata terlambat untuk melakukan kebaikan. Sekarang dan jangan tunda-tunda lagi niat baik kita. Semoga Allah meneguhkan kekuatan kita untuk melakukan kebaikan yang kita niatkan. Amiiin.


Sumber Data : Diadaptasi dari Tarbawi

About this blog

Assalamualaikum wr.wb

welcome to my blog ^_^

silahkan kritikan dan saran yang membangunnya ya.

Jadzakallah khairon katsiron

Mengenai Saya

Foto saya
ordinary girl but I will try to be a good moslemah.^_^

Recent Posts

“Ya Robb kutitipkan rindu ini utk saudara ku disana,eratkan Ukhuwah di aNnara kami, jadikan kami hambaMu yg senantiasa bersyukur atas nikmatMu n satukan hati kami dlm hangatnya dekapan kasih sayangMu..amiin”

Recent comments

Bagaimana menurut pendapat anda tentang blog saya??